Minggu, 29 April 2012

 
RMOL. Ariel Peterpan yang kini masih berstatus narapidana di Rumah Tahanan Kebonwaru menghibur narapidana se-Jawa Barat dalam rangka kegiatan pekan olah raga seni antar narapidana (Porsenap) yang digelar di Lapas Sukamiskin.

Kepala Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Sukamiskin Dewa Putu Gede, mengatakan sengaja mendatangkan Ariel untuk menghibur para napi yang telah melaksanakan kegiatan olah raga dan seni sejak hari Senin lalu.

"Kita datangkan Ariel untuk menghibur para napi yang telah selesai mengikuti Porsenap," ungkap Kalapas Sukamiskin Dewa Putu Gede kepada wartawan di Lapas Sukamiskin, Kamis (26/4).

Ariel sendiri pernah menjalani konser di dalam penjara, sebanyak tiga kali penampilan di tahun 2011 lalu. Saat konser HUT RI di Rutan kebonwaru tahun 2011, launching single Darra tahun 2011, serta konser pengisi hiburan kunjungan Taruna dan Taruni Akpol Semarang ke lapas Kebonwaru.

Ariel yang datang dengan setelan kemeja abu bergaris, kini sudah berambut panjang kembali. Seperti saat bersama Peterpan awal 2002 lalu.

Saat ditanya sejumlah wartawan sebelum 'manggung', Ariel mengaku akan membawakan tiga lagu dalam mengisi acara Porsenap napi se Jabar tersebut.

"Ya sekitar tiga lagu, masih dari album Peterpan," ujar Ariel dengan ramah kepada wartawan, di lapas Sukamiskin, Kamis (26/4). [arp]
Persoalan anak jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Banyak oknum yang memeras anak jalanan.
Pada saat krisis ekonomi, jumlah anak jalanan melonjak 400 persen. Sedangkan Departemen Sosial, tahun 1998 memperkirakan, jumlah anak jalanan mencapai angka 170.000 anak. Anak jalanan, secara umum akan dibilang anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya dan anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan. Usia mereka 6-15 tahun.
Kehidupan anak muda di jalan adalah satu subkultur. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk memudahkan kita memahami gagasan mengenai subkultur anak muda jalanan, mari mencermati peta antara hubungan anak muda dan orang tua, serta kultur dominan sebagai kerangkanya.
Sekurang-kurangnya, ada dua pihak yang –berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya– berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen oleh negara, sebagai saluran untuk melanggengkan kekuasaan.
Melalui UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang memiliki fungsi reproduktif dan sosial, melainkan juga fungsi ekonomi produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat untuk mensukseskan pembangunan, pada gilirannya, membawa perubahan pada posisi anak-anak dan kaum muda dalam masyarakat.
Negara memandang anak-anak dan kaum muda sebagai satu aset nasional yang berharga. Karena itu, investasi untuk menghasilkan peningkatan modal manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini mungkin. Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan penyiapan-penyiapan agar seorang anak bisa melalui masa transisinya menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak dan masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk memberikan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai bagian dari penyiapan masa transisi.
Saya Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluarga dan masa kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orangtua. Orangtua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum “tuna” (tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada di jalanan.
Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan streotipe mengenai kehidupan jalanan sebagai kehidupan “liar”. Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai”liar” dan mengancam masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang niaga oleh para pengusaha.
Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Berbagai media cetak dan elektronika mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami oleh anaknya.
Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse) untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal: yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai massa marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor … sumber pelacuran, kejahatan dan ketidakamanan.
Jalan raya bukanlah sekadar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain.
Sebuah kategori sosial, anak jalanan, bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua, sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua.
Soleh Setiawan, seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di jalan menuturkan pengalamannya. Katanya, waktu kecil ia banyak ngeluyur di kampung Arab lalu sempat sekolah di Al-Irsyad, sebuah sekolah ibtidaiyah di Pekalongan. Tapi ia lebih senang bermain di jalan dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada belajar. Sejak kecil dia tidak mengenal orangtua kandungnya. Dia dibesarkan seorang pamannya yang juga lebih banyak hidup di jalan. Seorang dokter yang cukup terpandang di Pekalongan mengadopsinya. Tetapi Soleh kecil selalu tidak merasa betah tinggal di rumah itu walau segala kebutuhannya dicukupi oleh orangtua angkatnya. Dia lebih sering bermain di luar rumah, sehingga orangtua angkatnya murka. Soleh pun minggat dari rumah. Dengan menumpang kereta api barang, ia pergi ke beberapa kota di Jawa, lalu ikut kapal penangkap ikan dengan rute pelayaran Kalimantan – Bali. Ia bekerja sebagai koki kapal selama 3 bulan.
Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Ketika hidup di jalanan, Soleh dipanggil Gombloh karena sering nggambleh, bergelantungan di mobil atau kereta api, pergi ke mana pun tanpa tujuan. Biasanya anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil dari bintang rock atau yang biasa didengarnya misalnya dengan nama John, Jimi, Tomi dan semacamnya.

anak jalanan

Sejak Marjinal bermarkas di Gang Setiabudi, Setu Babakan, Jakarta Selatan, dari hari ke hari kian banyak saja anak muda yang datang dan terlibat dalam program workshop. Selain membuka workshop cukil kayu dan musik, Marjinal mengusahakan distro sederhana. Sebuah lemari etalase diletakkan di beranda, menyimpan pelbagai produk Taringbabi; dari kaos, kaset, pin, stiker, emblem, zine sampai buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Di dinding didisplay puluhan desain kaos, di ruang tamu yang selalu riuh itu. Di tengah-tengah kotak display, ada gambar tengkorak yang berbarik sebagai ikon Taringbabi.
Para punker biasanya datang secara berkelompok. Biasanya mereka duduk-duduk di beranda depan, melepas penat, setelah seharian berada di jalanan, sambil asyik ngobrol dan bermain musik. Dengan ukulele (kentrung), gitar dan jimbe mereka menyanyikan lagu-lagu Marjinal. Bob dan Mike pun ikut nimbrung bernyanyi bersama. Mike memberitahu accord atau nada sebuah lagu, dan menjelaskan makna dari lirik lagu itu. Proses belajar dan mengajar, secara tidak langsung terjadi di komunitas, dengan rileks.
Sebagian besar anak-anak itu memilih hidup di jalanan, sebagai pengamen. Ada yang masih sekolah, banyak juga yang putus sekolah. Mereka mengamen untuk membantu ekonomi orangtua. Sebagian besar mereka berlatar belakang dari keluarga miskin kota, yang tinggal di kampung-kampung padat penduduk; Kali Pasir, Mampang, Kota, Matraman, Kampung Melayu, Cakung, Cengkareng, Cipinang dan lain sebagainya. Bahkan ada yang datang dari kota-kota seperti Medan, Batam, Serang, Bandung, Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar, Makasar, Manado, dll. “Dengan mengamen mereka bisa bertahan hidup, dengan mengamen mereka bisa membiayai sekolah dan membantu belanja sembako untuk ibu mereka.,” kata Mike, aktifis Marjinal.
Jika sekilas memandang penampilan mereka, boleh dibilang sebagai punk: ada yang berambut mohawk, jaket penuh spike, kaos hitam bergambar band-band punk dengan pelbagai slogan anti kemapanan. Kaki mereka dibalut celana pipa ketat dan mengenakan sepatu boot, ada juga yang hanya bersandal jepit.
Bagi anak-anak jalanan itu, Marjinal bagaikan oase, mata air yang menyegarkan kehidupan dan hidup mereka, di tengah cuaca kebudayaan Indonesia yang masih memarjinalkan anak-anak miskin kota, seperti yang didedahkan lirik lagu Banyak Dari Teman-temanku berikut ini:
Banyak dari teman-temanku / Lahir dari keluarga miskin / Di mana engkau enggan melihatnya, disana tak sederhana / Tak ada lagi banyak pilihan / / Diantara bising kereta / Dan sudut-sudut kumuhnya pasar / Di bawah terik matahari, disana tak sederhana / Tersangkut tajamnya pagar berduri / / Pelajar yang putus sekolah / Perempuan dan pekerja kasar / Dibawah beban yang dipikulnya, mereka tak sederhana / Terjebak pilihan yang berbahaya / / Tidur beralas tikar, dingin beratap mimpi / Tapi semuanya sirna oleh kenyataan / Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala / Disunat dipotong-potong dicincang-cincang / / Banyak dari teman-temanku yang hidup dijalan sana / Dimana kau tak merindukannya mereka kian tersiksa / Tergusur gagahnya gedung yang somse (sombong sekali ah!) / / Di balik tirai yang suram dan dipinggir keangkuhan / Bergelut dengan kegelapan tersungkur di kaki besi / Tertembus panasnya timah kebencian
KOMPAS.com - Badan organisasi sepak bola dunia (FIFA) menerbitkan Kode Etik baru untuk semua pemain dan pejabat sepak bola, termasuk perintah langsung menolak suap dan korupsi dalam pertandingan.

Namun Kode Etik tersebut masih akan disahkan dalam kongres tahunan FIFA bulan depan di Budapest, Hungaria.

Terdiri dari 11 prinsip dasar, Kode Etik tersebut sudah dikirimkan kepada 208 negara anggota FIFA.

Hal yang paling utama adalah mendesak semua keluarga FIFA untuk menolak dan mengecam semua bentuk suap maupun korupsi serta berperilaku etis dan bertindak dengan penuh integritas dalam semua situasi.

"Pelaksanaan dari prinsip-prinsip dalam Kode Etik adalah penting bagi FIFA dan misi organisasi tersebut," demikian bunyi dokumen FIFA, seperti dikutip kantor berita AP.

FIFA belakangan ini dibayang-bayangi dengan sejumlah praktek suap dan korupsi, di kalangan pemain sepak bola, wasit, maupun pejabatnya di sejumlah negara, yang mendorong pembentukan Satuan Tugas Transparansi.

Selain membahas Kode Etik baru, kongres tahunan di Budapest pada 24 dan 25 Mei juga akan membahas pembatasan usia tertua 72 tahun bagi calon untuk semua jabatan di FIFA.

Pembahasan lain menyangkut usul tentang sanksi baru atas pemain dan pejabat dalam bentuk melakukan pekerjaan sosial dan larangan bagi wasit serta petugas pertandingan, untuk mendapat uang tunai jika bertugas di turnamen internasional.

sriwijaya fc

Berita Terkini
Jumat, 13 Apr 2012
Kas:Kerja Keras Jebol Gawang Herman Batak
Para penyerang Sriwijaya FC pernah dibuat mati kutu oleh aksi brilian kiper Herman Batak. Kala itu, dia menjadi benteng pertahanan terakhir Persik Kediri saat meladeni tuan rumah SFC pada 23 Januari 2010 di Jakabaring.

Kini, Herman Batak yang menjadi kiper Deltras Sidoarjo akan diturunkan saat menghadapi Laskar Wong Kito di Gelora Delta Sidoarjo, Jumat (13/4/2012) petang.

Selengkapnya


Jumat, 13 Apr 2012
Hilton:Urusan Cetak Gol Nomor Dua
PALEMBANG-Stadion Delta Sidoarjo termasuk angker bagi Sriwijaya FC. Tercatat, Laskar Wong Kito tidak pernah menang dalam tiga kali lawatan. Pelatih Sriwijaya FC Kas Hartadi pun sudah meminta pemainnya bertahan dan mengandalkan serangan balik, sebagai strategi ampuh meredam serangan The Lobster.

Bahkan, para winger pun diminta bertahan termasuk Hilton Moreira. Sebab bagi Kas, tugas winger ... Selengkapnya


Rabu, 11 Apr 2012
SFC Waspadai 3 Pemain Asing Deltras
Direktur Teknik dan SDM PT SOM Hendri Zainudin, Selasa (10/4/2012) menilai, tidak mudah mendapatkan poin lawan Deltras Sidoarjo di Stadion Delta, Jumat (13/4/2012).

Deltras dinilai banyak melakukan perombakan tim, termasuk di stok pemain asing.

The Lobster mendatangkan James Koko Lomell dari Persegres dan membuang Amosh Mara. Kemudian merekrut Herman Batak di posisi kiper.
Selengkapnya